DOMBA DAN KAMBING DI INDONESIA, POTENSI, MASALAH, DAN SOLUSI
“Tulisan ini telah diterbitkan dalam Majalah TROBOS No 101 Februari 2008 Tahun VIII
Denie Heriyadi
Staf Pengajar pada Fakultas Peternakan Unpad
Litbang HPDKI Jabar
PENDAHULUAN
Pembangunan sektor pertanian dan usaha agribisnis yang berdaya saing,
berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi, senantiasa
didorong untuk mewujudkan perekonomian nasional yang sehat, hal ini
tercermin dari visi yang telah ditetapkan oleh Departemen Pertanian,
sedangkan dalam misi pembangunan peternakan antara lain adalah
memfasilitasi penyediakan pangan asal ternak yang cukup baik secara
kuantitas maupun kualitasnya, memberdayakan SDM agar menghasilkan produk
yang berdaya saing tinggi, menciptakan peluang ekonomi untuk
meningkatkan pendapatan, membantu menciptakan lapangan kerja, dan
melestarikan serta memanfaatkan sumberdaya alam pendukung peternakan
(Departemen Pertanian, 2001). Salah satu komoditas perternakan yang
memenuhi kriteria seperti pada visi daan misi di atas antara lain
komoditas domba dan kambing.
Keragaman wilayah di muka bumi menyebabkan begitu banyak bangsa ternak
yang tersebar di seluruh dunia. Sampai saat ini tercatat 244 bangsa
domba yang telah diidentifikasi dengan cukup baik dan dari 300 bangsa
kambing yang tercatat, 81 bangsa kambing telah teridentifikasi dengan
baik sehingga dari performa fisik dapat dibedakan antara satu bangsa
dengan bangsa lainnya (Heriyadi, dkk., 2002). Beberapa bangsa domba dan
kambing tersebut terdapat telah berkembangbiak dengan baik pada
berbagai kondisi dan wilayah di Indonesia.
Secara umum komoditas domba dan kambing terdistribusi di berbagai pulau
atau provinsi di seluruh wilayah Indonesia atau minimum menyebar di 11
provinsi di seluruh Indonesia. Luasnya penyebaran populasi komoditas
domba dan kambing tersebut membuktikan bahwa berbagai wilayah di tanah
air memiliki tingkat kecocokan yang baik untuk pengembangan, baik
kecocokan dari segi vegetasi, topografi, klimat, atau bahkan dari sisi
sosial-budaya daerah setempat.
Lokasi penyebaran kambing sangat cocok bila dikembangkan di Provinsi
Jawa Tengah, pada provinsi tersebut populasi kambingnya adalah yang
paling tinggi dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia
(3.033.952 ekor), dan domba sangat cocok bila dikembangkan di Provinsi
Jawa Barat, karena populasi domba di Provinsi Jawa Barat adalah yang
paling tinggi di Indonesia yaitu sebanyak 4.221.806 ekor atau mencapai
55,9 % populasi domba nasional (Statistik Peternakan, 2006).
Berdasarkan data yang diolah dari Departemen Pertanian (2003),
terungkap bahwa daerah yang populasinya paling padat dan cocok untuk
mengembangkan kambing dan domba sebagai sumber bibit dan bakalan untuk
komoditas :
(1) Kambing secara berturut-turut adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa
Barat, Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darusallam, dan Sulawesi Selatan.
(2) Domba secara berturut-turut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Nanggroe Aceh Darusallam.
Upaya pengembangan komoditas ternak apapun, termasuk pengembangan dan
peningkatan produktivitas domba dan kambing, tidak terlepas dari visi
pembangunan sektor pertanian dan misi pembangunan peternakan yang telah
ditetapkan sebagai arah dalam upaya pengembangan setiap komoditas
ternak.
1. KONDISI KEKINIAN DOMBA DAN KAMBING,POTENSI DAN MASALAHNYA
1.1 Kondisi Kekinian Domba dan Kambing
Perkembangan peternakan domba dan kambing (doka) sampai saat ini relatif
jalan di tempat, perkembangan produksi dan produktivitasnya hampir
tidak mengalami kemajuan berarti, hal ini diduga akibat pola
pemeliharaannya yang masih bersifat tradisional dengan skala pemilikan
yang kecil (small holders), sehingga doka kebanyakan dipelihara apa
adanya tanpa suatu perencanaan yang jelas untuk lebih berkembang, lebih
produktif, dan lebih menguntungkan, di samping itu jumlah pemotongan
doka termasuk domba dan kambing betina produktif untuk kebutuhan lokal
pun cukup tinggi, sehingga bila produktivitasnya tidak ditingkatkan dan
dikembangkan secara komersial dan dalam skala yang besar, dihawatirkan
akan terjadi pengurasan populasi domba dan kambing nasional, karena
perkembangan populasi doka tidak sejalan dengan meningkatnya permintaan
akan doka dan perkembangan populasi penduduk.
Populasi domba dan kambing di Indonesia saat ini mencapai 19 347 475
ekor, terdiri atas domba sebanyak 7.549 .316 ekor dan kambing 11.798.159
ekor, sedangkan populasi domba di Jawa Barat mencapai 4.221.806 ekor (
55,92 % populasi nasional) dan kambing berjumlah 1.148.547 ekor dan
pemotongan domba yang tercatat di Jawa Barat pada Tahun 2006 mencapai
3.343.365 ekor, sedangkan kambing sebanyak 444.969 ekor (Statistik
Peternakan, 2006). Artinya permintaan daging domba di Jawa Barat sangat
tinggi dan nyaris menguras populasi yang ada pada tahun berjalan, bila
hal ini tidak segera diantisipasi bukan tidak mungkin lambat laun domba
akan punah dari bumi Jawa Barat, walau pun domba-domba lokal di Jawa
Barat termasuk Domba Garut dikenal sebagai domba yang paling prolifik di
muka bumi.
Kondisi ini dihawatirkan diperparah oleh sulit tercapainya PSDS 2010
(Program Swasembada Daging Sapi 2010). Saat ini, diperkirakan kemampuan
produksi daging sapi di dalam negeri baru mampu memberikan kontribusi
sekitar (70-75) % terhadap kebutuhan nasional, padahal PSDS 2010 yang
telah dicanangkan oleh Pemerintah menuntut peran produksi daging sapi
dalam negeri untuk memberikan kontribusi sebesar (90-95) %. Bila sampai
Tahun 2010 terjadi kekurangan pasokan daging sapi dipasaran, sedikit
banyak akan berimbas pula pada peningkatan konsumsi daging doka, walau
pun untuk daging doka terdapat pangsa pasar yang spesifik. Saat ini
pangsa pasar daging doka di Indonesia tergolong sangat rendah atau hanya
sebesar 5 %, daging unggas 56 % , daging sapi 23 %, daging babi 13 %,
daging lainnya 3 % (Ditjen Peternakan, 2006).
1.2 Potensi yang Mungkin Dikembangkan dan Peluang Pasar
Potensi untuk mengembangkan domba dan kambing di Indonesia sangat
terbuka lebar, karena kurang lebih 30 persen kebutuhan pangan dan
pertanian dipenuhi oleh ternak, sehingga keberadaan ternak menjadi
sangat strategis dalam hidup dan kehidupan manusia. Pengembangan
potensi tersebut sebenarnya sangat terbuka lebar, hal ini didukung oleh
(1) Sumber Daya Manusia, seperti Ilmuwan dari perguruan tinggi, lembaga
penelitian, balai-balai penelitian, (2) Kelembagaan yang terkait dengan
domba dan kambing, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), Balai
Embrio Transfer (BET), Balai Inseminasi Buatan (BIB), dan Satker Dinas
Peternakan, Peternak dan Kelompok Peternak domba dan kambing, Organisasi
Profesi (HPDKI, PG30), pasar doka baik di dalam maupun luar negeri, (3)
Potensi Sumber Daya Genetik Ternak (SDGT), seperti ketersediaan plasma
nutfah potensial sebagai bibit (Domba Garut, Domba Ekor Gemuk, Domba
Ekor Tipis, Kambing Peranakan Ettawa, dll), Kemajuan ilmu pemuliaan
(seleksi, culling, replacement, persilangan, dan rekayasa genetika),
Kemajuan industri obat-obatan ternak, dukungan peternakan rakyat dan
kelompok peternak dalam produksi bibit sebar dan bibit induk, daya
dukung perkebunan-perkebunan, lahan-lahan kritis, areal kehutanan,
lahan-lahan pangonan, yang dapat dijadikan basis ekologi peternakan
domba dan kambing.
Potensi tersebut di atas perlu diperhatikan secara terintegrasi sehingga
dapat diperoleh manfaat produksi dan manfaat ekonomi secara maksimum.
Peluang pasar untuk doka di dalam negeri sangat terbuka lebar, hal ini
tersirat dari besarnya permintaan dan data pemotongan doka di Jawa
Barat, baik pemotongan yang tercatat maupun yang tidak tercatat untuk
kebutuhan konsumsi, kebutuhan Iedul Qurban, maupun untuk Aqiqah.
Potensi pasar ini akan terus berkembang sejalan dengan pesatnya
pertambahan penduduk (saat ini penduduk di Indonesia telah mencapai 225
juta orang dan diproyeksikan akan mencapai 234 juta orang pada Tahun
2010, di samping itu peningkatan pendapatan, peningkatan kesadaran akan
pentingnya gizi asal protein hewani, kesadaran masyarakat akan
pentingnya lamb untuk meningkatkan kecerdasan balita, termasuk campur
tangan pemerintah untuk membuka dan memperluas peluang pasar di dalam
negeri, akan semakin membuka pasar domba dan kambing di dalam negeri.
Konsumsi daging domba dan kambing di Indonesia sampai saat ini hanya
mencapai 0,24 g (Data Diolah, 2008), sedangkan data konsumsi daging doka
di beberapa negara maju adalah sebagai berikut Jerman 3,33 g, Rusia
3,36 g, Cina 6,39, Perancis 13,89, Inggris 16,94, Yunani 38,61,
Australia 52,50 g, dan yang tertinggi adalah New Zealand yaitu 81,11 g
(Anonimous, 2000).
Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa kemajuan suatu negara memiliki
korelasi yang positif dengan konsumsi daging doka, artinya semakin maju
suatu negara semakin besar pula kebutuhan daging dokanya.
1.3 Kebutuhan Domba dan Kambing untuk Kurban
Makna kurban untuk umat Islam adalah prosesi penyembelihan ternak untuk
mendekatkan diri pada Allah SWT dengan syarat-syarat dan tatacara yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulullah. Jadi pelaksanaan qurban
semata-mata hanya untuk meningkatkan ketakwaan dan mendekatkan diri
pada Allah SWT, hal ini sesuai dengan dengan firmanNya dalam QS
Al-Hajj:37 yang menyatakan bahwa daging-daging dan darah (hewan kurban)
itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridloan) Allah, tetapi ketaqwaan
kamulah yang mencapainya. Selanjutnya dalam suatu hadits dinyatakan
bahwa Tidak ada satu pun perbuatan manusia yang paling disukai Allah SWT
pada Hari Raya Iedul Adha selain berkurban. Sesungguhnya darah yang
mengalir itu akan lebih cepat sampai kepada Allah SWT sejak darah itu
jatuh di permukaan bumi (HR At-Tirmizi dan Ibnu Majjah).
Atas dasar firman dan hadits yang telah disebutkan di atas dapat
diprediksi bahwa dengan semakin bertambah umat Islam di Indonesia dan
sejalan pula dengan meningkatnya ketaqwaan serta meningkatnya
perekonomian umat, maka kebutuhan hewan kurban akan meningkat secara
linear atau dapat dikatakan bahwa bahwa peningkatan populasi penduduk
yang beragama Islam akan meningkatkan kebutuhan hewan kurban dalam
situasi ekonomi yang kondusif.
Sebagai gambaran berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Peternakan
dan Perikanan DKI Jakarta, jumlah pemotongan doka di Jakarta saat Hari
Raya Iedul Adha 2006 adalah sebanyak 1.721 ekor (domba) dan 40.043 ekor
(kambing), di samping itu dipotong pula 5.048 ekor sapi dan 151 ekor
kerbau, sedangkan prediksi untuk tahun 2007 adalah 2.000 ekor domba dan
60.000 ekor kambing, 6.000 ekor sapi, dan 200 ekor kerbau (data
realisasi pemotongan untuk Tahun 2007 belum diperoleh).
Data tersebut merupakan gambaran kebutuhan hewan kurban yang senantiasa
meningkat dari tahun ke tahun, khususnya gambaran untuk daerah pantura,
Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur, sedangkan untuk daerah Jawa Barat
ternak yang dijadikan hewan kurban lebih banyak domba dibandingkan
kambing. Hal ini terkait dengan kebiasaan dan preferensi umat di daerah
masing-masing, namun secara umum jumlah tersebut dapat
merepresentasikan jumlah ruminansia kecil (doka) yang dipilih sebagai
hewan kurban.
1.4 Ancaman-ancaman bila Domba dan Kambing Tidak Digarap Serius
Indonesia memiliki keragaman plasma nutfah domba dan kambing yang
potensial dan cukup banyak untuk dikembangkan dan dimanfaatkan agar
diperoleh manfaat ekonomi bagi masyarakat, di antara plasma nutfah
tersebut yang memiliki potensi ekonomi antara lain Domba Garut, Domba
Ekor Gemuk, Domba-domba komposit, Kambing Peranakan Ettawa, dan doka
lokal dari berbagai daerah di wilayah Indonesia.
Keberadaan plasma nutfah potensial tersebut sampai saat ini masih kurang
digarap secara serius, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan
peternak yang memeliharanya, kesinambungan dan keberlanjutan usaha doka,
serta untuk melindungi dan menyelamatkan plasma nutfah asli Indonesia,
sementara itu permintaan akan doka terus meningkat, pemotongan doka
sering kurang terkendali yang terbukti dengan tingginya angka pemotongan
doka betina produktif, sehingga peluang-peluang tersebut justru dapat
menjadi bumerang, karena dapat pula berpotensi menjadi sumber pengurasan
doka dan plasma nutfah Indonesia.
Hal ini berkaitan dengan terancamnya kepunahan 30 % bangsa ternak di
muka bumi seperti yang dilansir oleh FAO, diduga 1 spesies atau bangsa
ternak punah setiap 5 hari, dan kepunahan tersebut setengahnya atau 50 %
terjadi dinegara-negara berkembang. Atas dasar itu pula pada Tanggal 7
September FAO mengeluarkan deklarasi di Switzerland yang dikenal dengan
Deklarasi Interlaken, yang bertujuan untuk penyelamatan dan pemanfaatan
berkelanjutan sumber daya genetik ternak yang ada di dunia dan
dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan pendukung pertanian, agar
keamanan pangan dunia dapat terjamin, mengakui State of the world’s
animal genetic resources, kajian mendalam tentang sumber daya genetik
ternak dan menyiapkan Global Plan of Action for Animal Genetic
Resources.
2. SOLUSI DAN MODEL USAHA YANG TEPAT
2.1 Model-model Pengembangan Domba dan Kambing
Rancangan pembangunan dan pengembangan pembibitan doka di Indonesia,
sangat bergantung atas pengembangan industri benih (mani dan mudigah)
dan bibit doka (bakalan doka pada umur tertentu) yang bersumber dari
dalam negeri.
Hal ini berusaha dicapai melalui visi perbibitan peternakan, yaitu
tersedianya berbagai jenis bibit dalam jumlah dan mutu yang memadai
serta mudah diperoleh, pelaksanaannya dikejawantahkan dalam dan misi
sebagai berikut : (1) menyediakan bibit yang berkualitas dalam jumlah
yang cukup, (2) mengurangi ketergantungan impor bibit ternak, (3)
melestarikan dan memanfaatkan bangsa ternak setempat, serta (4)
mendorong pembibitan-pembibitan pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Usaha dalam meningkatkan mutu genetik ternak perlu dilakukan secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan, kualitas mutu genetik ternak
akan sangat terkait dengan produktivitas dalam usaha di bidang
peternakan, upaya yang dapat ditempuh adalah dengan meningkatkan nilai
rata-rata sifat produktif (sifat yang dikehendaki) yang dimiliki oleh
sekelompok ternak.
Strategi pengembangan kelembagaan perbibitan yang telah ditetapkan oleh
Menteri Pertanian (2003), adalah berupaya untuk membentuk dan
memberdayakan berbagai kelembagaan penunjang produksi bibit ruminansia,
antara lain adalah :
(1) Secara konsisten memperbaiki kinerja Unit
Pelaksana Teknis (UPT) perbibitan ternak ke arah komersialisasi dan
privatisasi, sehingga UPT perbibitan ruminansia dapat menghasilkan bibit
ternak yang berkualitas,
(2) Mengembangkan kelembagaan penangkar bibit
ternak rakyat yang dilaksanakan oleh masyarakat peternak sendiri, dengan
pola dasar semacam VBC (Village Breeding Center).
2.2 Model dan Skala Usaha yang Ekonomis
Usaha peternakan doka terkait dengan pasar kurban dan aqiqah pada
dasarnya dibagi dalam dua jenis usaha, pertama adalah usaha penyediaan
bibit atau bakalan dan usaha penggemukan doka.
Secara umum semua usaha pembibitan baik pembibitan domba maupun kambing,
keduanya sama-sama tidak menguntungkan karena usaha pembibitan tersebut
memerlukan biaya yang besar, resiko yang tinggi, dan tidak quick
yielding. Oleh karena itu usaha pembibitan ternak sebaiknya dikelola
oleh pemerintah atau swasta yang kuat dari segi permodalan dan memiliki
jiwa nasionalisme yang tinggi.
Peternak doka small holders yang melakukan pembibitan dalam skala rumah
tangga sering tidak merasakan rugi, karena pemeliharaan yang dilakukan
masih bersifat tradisional yang sering tidak memperhitungkan
faktor-faktor produksi, sehingga kerugian yang terjadi tidak dirasakan
secara langsung oleh Peternak, namun bila diperhitungkan secara ekonomis
usaha pembibitan tersebut akan terlihat merugi.
Penggemukan doka sebenarnya dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan
usaha, dan bila dikelola dengan cermat dapat menghasilkan keuntungan
yang lumayan. Tentu saja dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti
pemilihan bakalan, pemberian pakan, manajemen pemeliharaan, pertimbangan
kesehatan ternak, dan penguasaan pasar yang baik, termasuk pertimbangan
waktu yang tepat dalam menjual doka. Saat menghadapi Hari Raya Iedul
Qurban adalah salah satu waktu yang baik untuk mengusahakan penggemukan
doka, karena pasar dan harga akan sangat kondusif untuk iklim usaha.
Skala usaha yang menguntungkan untuk penggemukan doka pada dasarnya
semakin banyak doka yang dipelihara akan semakin ekonomis usaha
tersebut,
berikut ini adalah perhitungan sederhana untuk skala pemeliharaan 30
ekor domba lokal, dengan asumsi-asumsi pemeliharaan sebagai berikut:
mortalitas 5 %; luas kandang 22,5 m2 untuk masa pakai 10 tahun biaya
pembuatan per m2 adalah Rp 250.000,00; lama penggemukan 4 bulan; BB awal
bakalan 23 kg dengan harga Rp 23.000,00/kg; ADG 80 g; konsentrat 200
g/ekor/hari dengan harga konsentrat Rp 1.200,00/kg; tenaga kerja 1 orang
dengan gaji Rp 750.000,00/bulan; harga jual domba Rp 30.000,00/kg
hidup; faeces yang dihasilkan 22,5 kg/hari dengan harga jual Rp 200,00.
Atas dasar sumsi-asumsi tersebut di atas, akan dikeluarkan (1) Biaya
Tetap (investasi) untuk penyusutan kandang, peralatan, sewa kendaraan,
dan biaya tidak terduga sebesar Rp 837.500,00. (2) Biaya Variabel untuk
pembelian domba bakalan, konsentrat, tenaga kerja, listrik, air,
komunikasi, dan overhead cost sebesar Rp 20.734.000,00. (3) Pendapatan
dari penjualan domba dan faeces sebesar Rp 28.413.000,00.
Berdasarkan pendapatan dan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam usaha
penggemukan domba lokal tersebut, diperoleh laba usaha sebagai berikut :
Laba Usaha = Rp 28.413.000,00 – (Rp 837.500,00 + 20.734.000,00)
= Rp 28.413.000,00 – Rp 21.571.500,00
= Rp 6.841.500,00/periode.
Laba usaha tersebut tentu saja masih dapat ditingkatkan bila peternak
memilih bakalan yang memiliki ADG di atas 80 g, seperti Domba Garut,
DEG, atau Domba-domba komposit dan memiliki keterampilah khusus dalam
menjual domba hasil penggemukannya.
Selamat mencoba.
DAFTAR BACAAN
Anonimous. 2000. MEAT, International Magazine, Volume 10.
Departemen Pertanian. 2001. Kebijakan Umum Pembangunan Sistem Agribisnis Peternakan 2000-2004. Disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Jakarta.
Departemen Pertanian. 2003. Pengembangan Industri Benih dan Bibit Peternakan di Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Direktorat Perbibitan. Jakarta.
Heriyadi, D. 2002. Sistem Perbibitan Ternak Ruminansia. Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran. Bandung.
FOA. 2007. Animal Genetic Resources International Conference. 3-7 September
2007. Agricultural Department. Animal Production and Health Division.
Interlaken Switzerland. www.fao.org/AG/AGAINFO/Programmes/en/
genetics/ITC_press.html - 27k. Diakses Tanggal 15 Januari 2008.
Statistik Peternakan. 2006. Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar